Beranda | Artikel
Enam Mutiara Prinsip Ahlul Atsar
22 jam lalu

Enam Mutiara Prinsip Ahlul Atsar adalah tabligh akbar yang disampaikan oleh Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani Al-Jazairi Hafidzahullah dan penerjemahan oleh: Ustadz Abdullah Taslim, M.A. pada Ahad, 21 Rabiul Awwal 1447 H / 14 September 2025 M.

Tabligh Akbar Tentang Enam Mutiara Prinsip Ahlul Atsar

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ…

“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Ansar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya…” (QS. At-Taubah [9]: 100)

Ayat ini merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan jaminan surga dengan lafaz تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ tanpa menyebutkan huruf min. Pada ayat-ayat lain disebutkan مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ yang berarti “mengalir dari bawahnya.” Sedangkan dalam ayat ini langsung disebutkan تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ, “di bawahnya mengalir,” yaitu di bawah surga tersebut mengalir sungai-sungai yang indah.

Para ulama salaf yang merupakan Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, memiliki prinsip-prinsip dasar yang mereka jadikan pegangan dalam meniti jalan agama ini, dan mereka jadikan sebagai landasan dalam berdakwah, baik dalam mengajarkan maupun mempelajari ilmu.

Di sini akan disebutkan enam prinsip dasar mereka dalam menempuh agama ini secara ringkas.

Prinsip Pertama: Ikhlas Beribadah Hanya kepada Allah

Ikhlas beragama hanya untuk Allah adalah mentauhidkan Allah, yaitu tidak beribadah kecuali kepada Allah semata, tidak ada yang menjadi sekutu dalam peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ…

“Ketahuilah, hanya milik Allah agama yang murni.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)

Dan firman-Nya:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]: 2)

Allah tidak akan menerima ibadah seseorang kecuali yang hanya ditujukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan prinsip ini sebagai asas semua perkara agama, karena ini menyangkut hak Allah yang paling agung. Banyak hak yang wajib ditunaikan, seperti hak orang tua, hak tetangga, hak anak, hak kerabat, dan lainnya. Namun hak Allah adalah yang terbesar.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu: “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba atas Allah?”

Kemudian beliau menjelaskan: “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Barang siapa shalat hanya untuk Allah, dialah hamba yang benar-benar mentauhidkan Allah dalam ibadah. Namun, jika shalat ditujukan kepada selain Allah, seperti di kuburan untuk penghuni kubur, maka itu adalah syirik. Demikian pula dengan menyembelih, bersumpah, atau berdoa kepada selain Allah.

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ‎﴿١٦٢﴾‏ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ‎﴿١٦٣﴾

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.” (QS. Al-An’am [6]: 162-163)

Prinsip Kedua: Jalan Menuju Allah Hanya Satu

Prinsip dasar yang kedua adalah bahwa jalan yang akan menyampaikan seorang hamba kepada Allah hanya satu, tidak berbilang. Jalan ini adalah jalan yang akan menghantarkan kepada ridha Allah dan surga-Nya.

Di dalam doa yang selalu dibaca dalam shalat, kita memohon:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Inilah satu-satunya jalan yang akan menyampaikan seorang hamba ke surga. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan banyak golongan yang menyimpang, namun hanya satu golongan yang benar. Allah berfirman:

…وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ…

“Dan barang siapa yang kafir terhadapnya di antara golongan-golongan itu, maka neraka adalah tempat yang diancamkan baginya.” (QS. Hud [11]: 17)

Kemudian Allah menyebutkan tentang golongan yang benar hanya satu:

…أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, golongan Allah, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)

Sesungguhnya kaum muslimin seharusnya berada di satu jalan, yaitu jalan Allah, dan tidak terpecah menjadi kelompok-kelompok. Jalan ini adalah sumber pengambilan hukum yang benar di dalam Islam. Ada dua perkara pokok yang menjadi rujukan:

Tujuan penciptaan manusia dan jin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Sumber pengambilan hukum. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’)

Para ulama salaf, jika sudah memahami dalil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka mereka tidak menoleh kepada ucapan siapapun. Mereka tidak memperhatikan ucapan siapapun setelah mengetahui penjelasan dari sebaik-baik manusia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا…

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu menafsirkan ayat ini dengan berkata bahwa tali Allah itu adalah Al-Qur’an.

Dengan demikian, jalan Allah adalah jalan yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan diwariskan kepada umatnya untuk diikuti. Jalan ini adalah Al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salaf umat ini.

Prinsip Ketiga: Sesuai Pemahaman Sahabat

Prinsip dasar yang ketiga adalah mengikuti Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan pemahaman para ulama salaf, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik.

Saat ini kaum muslimin bisa berselisih dalam memahami makna Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ketika terjadi perselisihan, kita wajib merujuk kepada pemahaman para ulama salaf agar tidak salah dalam memahami agama ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dipilihnya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam. Dan neraka Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa [4]: 115)

Pada ayat ini menyebutkan “Barang siapa menentang Rasul,” kemudian Allah menambahkan “dan mengikuti jalan selain kaum mukminin”, padahal cukup dengan menentang Rasul menjadikan seseorang terjerumus ke dalam api neraka. Kaum mukminin yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Dengan mengikuti pemahaman mereka, Allah akan menyelamatkan kita dari azab neraka.

Imam Asy-Syathibi Rahimahullah berkata bahwa ayat ini adalah dalil tentang kebenaran ijma‘ (kesepakatan) para sahabat. Mereka bersepakat di atas satu aqidah, aqidah yang benar sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dalil dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga banyak. Di antaranya adalah hadits sahabat Al-‘Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘Anhu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelahku, ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Ada pula hadits dari Mu‘awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-jama‘ah.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain dijelaskan makna Al-Jama’ah:

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

“(Golongan yang selamat adalah) orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku hari ini.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadits ini menegaskan bahwa golongan yang selamat adalah mereka yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat.

Kesimpulannya, wajib bagi kita untuk mengembalikan pemahaman agama ini kepada timbangan pemahaman para salaf, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma‘in dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.

Mengembalikan pemahaman kepada pemahaman salaf bisa menghilangkan perselisihan menjadi solusi dari masalah untuk mengembalikan kepada pemahaman aqidah yang benar dan mengangkat perselisihan di umat ini.

Prinsip Keempat: Meraih Kemuliaan dengan Ilmu

Prinsip dasar yang keempat adalah meraih kemuliaan dan kedudukan yang tinggi dengan ilmu. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Dahulu umat Islam memiliki kedudukan yang mulia di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, serta di masa ulama salaf. Namun seiring berlalunya waktu, umat ini terpuruk karena jauh dari ilmu. Allah Subhanahu wa Ta‘ala juga berfirman:

…نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

“Kami meninggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An‘am [6]: 83)

Dan firman-Nya:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Di atas setiap orang yang berilmu ada lagi yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76)

Ayat yang pertama dalam surah Al-An‘am turun dalam konteks perdebatan ilmiyah antara Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dengan kaumnya, yang menunjukkan pentingnya ilmu. Ayat dalam surah Yusuf berhubungan dengan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam saat mengatur urusan negeri, yang menunjukkan pentingnya amal. Maka, Allah mengajarkan kepada kita untuk mempelajari ilmu agama kemudian mengamalkannya. Dengan keduanya, Allah mengangkat derajat hamba-Nya di dunia dan akhirat.

Dalam sebuah hadits shahih dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengisahkan pertemuannya dengan gubernur Makkah. Umar bertanya, “Siapa yang engkau tinggalkan untuk memimpin Makkah selama engkau pergi?”

Gubernur menjawab, “Aku tinggalkan Ibnu Abza.” Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?” Ia menjawab, “Seorang bekas budak yang kini merdeka. Ia ahli membaca Al-Qur’an dan memahami ilmu warisan (faraid).” Mendengar hal itu, Umar berkata, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan kitab ini beberapa kaum, dan dengan kitab ini pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

Prinsip Kelima: Membantah Kesalahan

Prinsip dasar yang kelima adalah membantah kesalahan orang yang berbuat salah. Meluruskan atau membantah kesalahan termasuk amar makruf nahi mungkar, salah satu perkara agung dalam Islam.

Manusia terkadang melakukan kesalahan dan terkadang melakukan kebenaran. Tidak ada yang luput dari kesalahan. Karena itu, kita wajib meluruskan kesalahan, menjelaskan, dan membantahnya. Jika ada orang yang berbuat salah lalu kita saling diam karena merasa tidak enak atau malu untuk menegur, hal itu justru menjadi sebab tersebarnya kemungkaran dan keburukan di tengah masyarakat. Sikap ini bukanlah sikap seorang muslim, melainkan akhlak orang Yahudi yang dicela dalam Al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Mereka satu sama lain tidak saling melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sungguh buruk apa yang mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah [5]: 79)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak membiarkan kesalahan yang terjadi di kalangan para sahabat. Beliau meluruskannya demi kebaikan umat dan sebagai sebab datangnya hidayah.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan kisah Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu. Suatu ketika ia menjadi imam shalat Isya di perkampungannya dan membaca surah yang panjang, bahkan surah Al-Baqarah. Ada seorang jamaah yang memiliki kesibukan, sehingga ia merasa bacaan itu terlalu panjang lalu keluar dan salat sendiri. Mengetahui hal itu, Muadz menuduhnya sebagai munafik.

Orang tersebut lalu mengadukan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz:

“Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah, wahai Muadz? Mengapa engkau tidak membaca Sabbihisma rabbikal a‘la atau Was syamsi wa duhaha?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan, sekalipun Muadz adalah sahabat yang senior, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap menegur dan meluruskannya.

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)

Sebagaimana cermin memperlihatkan kekurangan kita, seorang mukmin juga harus menasihati saudaranya. Dalam hadits tersebut juga disebutkan bahwa seorang mukmin menjaga saudaranya, melindungi harta, keluarga, dan kehormatannya. Termasuk di dalamnya adalah menasihati dan meluruskan kesalahan dengan cara yang lembut, bukan dengan cara yang kasar.

Dengan demikian, amar makruf nahi mungkar, termasuk membantah kesalahan, adalah kewajiban mulia yang menjaga kemurnian Islam dan keselamatan umat.

Prinsip Keenam: At-Tasfiyah wa At-Tarbiyah

Prinsip dasar yang keenam adalah at-tasfiyah wa at-tarbiyah, yaitu pembersihan dan tarbiyah (pendidikan). Setelah berlalunya masa yang panjang dalam Islam ini, meskipun kita yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga kemurnian Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan tetapi di kalangan kita banyak kelompok atau jamaah yang melakukan penyimpangan dari konsekuensi ilmu dan amal. Mereka merubah banyak perkara ilmu yang seharusnya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, serta dalam amalan mereka melakukan bid’ah atau amalan yang menyimpang dengan menyangka bahwa hal itu bagian dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Di sinilah kita membutuhkan at-tasfiyah wa at-tarbiyah, yaitu pembersihan Islam dari hal-hal yang mengotorinya, kemudian mendidik umat di atas Islam yang bersih dan murni.

Dalil tentang prinsip ini kita dapati dalam doa yang selalu kita baca di setiap rakaat salat, yaitu permintaan agar Allah memberi kita petunjuk ke jalan yang lurus:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Allah kemudian menegaskan:

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah [1]: 7)

Dalam hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafsirkan:

اَلْمَغْضُوْبُ عَلَيْهِمْ – وَأَشَارَ إِلَى الْيَهُوْدِ – وَالضَّالُّوْنَ هُمُ النَّصَارَى

“Orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah Nasrani.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih)

Dengan demikian, kita memohon kepada Allah agar dibersihkan dari jalan yang menyimpang, yaitu jalannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Dalam sebuah hadits shahih, Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika berkhutbah:

“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu menjelaskan kepada para sahabat tentang sumber hukum Islam yang benar, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sekaligus memperingatkan tentang perkara-perkara bid’ah yang bertentangan dengan Islam.

Allah berfirman tentang penjagaan Al-Qur’an:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Al-Qur’an terjaga lafaznya, tetapi sebagian orang menyelewengkan maknanya. Begitu pula sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagian orang menyelewengkan makna atau bahkan membuat hadits palsu. Karena itu, peran ulama sangat penting untuk melakukan tasfiyah, yaitu memisahkan hadits shahih dari yang lemah atau palsu, lalu menjelaskan makna yang benar.

Disebutkan dalam kisah, ada sebagian pedagang adas (sejenis kacang) yang ingin melariskan dagangannya dengan membuat hadis palsu: “Wahai manusia, makanlah adas, karena ia disucikan berdasarkan 70 ucapan para nabi.”

Ini adalah hadits palsu yang dibongkar oleh para ulama agar kaum muslimin tidak tertipu.

Mp3 Kajian Tabligh Akbar Enam Mutiara Prinsip Ahlul Atsar

https://soundcloud.com/radiorodja/20250914-syaikh-abdul-malik

Jangan lupa untuk turut menyebarkan kebaikan dengan membagikan link download tabligh akbar ini ke media sosial Antum. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Antum semua.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55553-enam-mutiara-prinsip-ahlul-atsar/